WAYANG AJEN DI PERANCIS (2)

[Pandu Radea : Menjelajah Perancis]

LETS GO, TO EIFFEL


          Malam semakin dingin. Kaca tampak tebal oleh titik-titik air yang menempel. Namun lembabnya  cuaca tidak mampu menghalangi euphoria menyambut natal dan tahun baru. Jalanan yang basah dan rintik gerimis, tidak merintangi  pengunjung untuk menjelajah setiap sudut dan pusat keramaian di kota Paris yang semakin centil. Ibukota sekaligus salah pusat Trotoar mendenguskan ribuan derap kaki  bernada ritmik  Iramanya yang  monoton mengiringi berbagai ras manusia untuk berdesakan dan bergesekan, bergerak menuju pusat-pusat keindahan kota yang begitu menggoda.
 
           Mulut lorong-lorong bawah tanah setiap detik memuntahkan dan menyedot manusia yang akan dan telah menggunakan angkutan kereta api bawah tanah. Semuanya serba otomatis, peranan mesin sebagai pengganti manusia di sector transfortasi tampak begitu dominan. Tiket kreta seharga 2 euro telah di pegang masing-masing. Tiket dengan kode metro ini berlaku selama 12 jam. kita akan bebas naik kreta api kemanapun. Saya merasa menjadi si Cepot saba kota. Tiga kali tim yang dipandu oleh Herman berganti kereta. 
 
           Suatu kali kami muncul di sebuah taman yang diramaikan oleh pernak-pernik suasana Natal. lalu lalang dan kerumunan orang yang berseliweran diliputi suasana gembira dan ceria. menulari kami yang ngos-ngosan setelah menyusuri labirin bawah tanah yang nyaris terlihat sama. Kami sejenak berpose. Nyaris saja kami melupakan keberadaan masing-masing. Betapa tidak semuanya terlihat menarik, membuat kami sedikit terpencar untuk menikmati susanan sesuai selera masing-masing. Berkali-kali Herman mengingatkan agar kami tetap berada dalam rombongan. "Awas lho jangan sampai terpisah. ini di Paris, bukan di Jakarta. Disini ga ada Mikrole kalo tersesat susah nyarinya." ujarnya menegaskan. 
 
           Chryill yang bertubuh gemuk besar akhirnya menjadi patokan kami.  Karena lelaki berkacamata ini, mengenakan  tutup kepala sinterklas berbentuk per yang unik dan lucu. Katanya itu adalah oleh-oleh untuk anaknya. Jika ada diantara kami yang sedikit jauh dari rombongan,  maka tinggal mencari kepala Chryl  yang memang berbeda dan terlihat dari kejauhan. hal itu lumayan effektif. Puas menikmati taman yang bercahaya, kami menyusuri trotoar yang juga dipadati lalu-lalang manusia. 
 
 
           Entah berapa lama kami berjalan, yang jelas suasana kota yang meriah membuat kami melupakan  waktu dan jarak. akhirnya, kami melintasi boulevard jalan yang diujungnya berdiri angkuh Arc de Triumphe , gerbang  sekaligus tugu kemenangan Napoleon Bonaparte  itu terlihat  beridri kokoh dalam kemilau lampu warna-warni. Sayang, kami hanya melintasinya sesaat karena Herman Sitepu segera mengajak kami masuk kembali ke dalam lorong bawah tanah

          10 menit kemudian kami muncul kembali dipermukaan tanah. Kali ini pandangan kami tertuju pada bercakan cahaya yang berganti warna  terpancar tanpa henti, dengan segala pesonanya menara Eiffel tampak menjulang tinggi membelah langit gelap. Keindahannya telah membakar dingin dan rasa lelah akibat berjalan kaki cukup jauh. Sejenak kami terpukau. Karyana atau akrab di panggil Yana tampak komat-kamit, entah mantra apa yang tengah dibacanya. Agus berjalan ke beberapa sudut mencari tempat untuk berpose yang ideal. Wawan Ajen dan Dini langsung diselimuti suasana romantic. Mereka  menggumamkan lagu terlena milik Ridho Irama.  Sedangkan aku, sibuk kesana kemari menghindar dari pedagang Nigeria yang menawarkan cendramata.

          Hanya Herman, Andris dan Maya yang tidak terpengaruh oleh sihir Eiffel. Ternyata cindramata berupa gantungan menara Eiffel cukup murah.  Orang nigeri penjual cendramata itu akhirnya ditundukan oleh Dini Ajen yang memborong 30 buah gantungan Eiffel hanya seharga 5 euro.  Saya dan yang lainnya merasa menyesal tidak ikut membeli gantungan eiffel itu. Karena , cendramata khas Paris itu,  tternyata tidak akan kami dapati lagi dengan harga murah di kota-kota berikutnya.  2 jam lamanya kami menikmati keindahan menara Eiffel. Kendati dari jauh, namun kami cukup senang dan setelah puas, kami pulang ke penginapan . Malam itu kami tidur dengan nyenyak.  Sayangnya dalam jadwal pertunjukan, kami tidak jadi main di Paris karena waktunya tidak cukup.

         Tanggal 6 Desember Wayang Ajen meluncur menuju  St. Orleans untuk melaksanakan workshop dan pertunjukan.  Kota ini berjarak 100 km dari Paris dan ditempuh selama 1 jam lamanya. Kami telah di wanti-wanti oleh Bruno untuk melapisi baju hangat kami dengan jaket tebal yang sengaja dia bawa untuk kami karena di Orleans suhu bisa mencapai -2 derajat celcius. Rencananya kami akan tinggal di Orleans  selama 3 hari. Tepatnya di kota Fleury les Aubrais.  St Orlean adalah kota setingkat kabupaten. Sedangkan Fleury les Aubrais setingkat kecamatan. 

         Walaupun setingkat kecamatan, Fleury les Aubrais merupakan kota yang cantik dan rapih. Masyarakatnya disiplin dan tertib. Kedatangan kami disambut oleh para petinggi kota. Setelah peralatan pentas diturunkan di sebuah gedung pertunjukan, kami berkenalan dengan beberapa warga yang ternyata kemudian akan menjadi orang tua asuh kami selama di Fleury.  Jadi, setiap dua orang tim wayang ajen, akan tinggal di rumah warga yang telah diatur oleh panitia. Mirip home stay. Saya dan Andris tinggal di rumah  madam Sylvie Delarve. Karyana dan Agus tinggal bersama keluarga Bernard Neunier, Maya bersama keluarga Maryvo Nue, sedangkan Wawan Ajen dan Dini tinggal di rumah keluarga  orang nomer satu di Fleury. (sambung)


  

Komentar

Postingan Populer