KISAH WAYANG AJEN DI SPAIN (bag. 8)

Catatan Pandu Radea  dari Festival International de Titeres de Canarias

 MISI PANAKAWAN




          Jam 18.00 waktu setempat, kami sudah standby di panggung. Beberapa ilustrasi music bernuansa, Bali, Jawa, Gending Sriwijaya, Cirebonan, dan tentu saja Degung Sunda lagu Karang Ulun  mengalun lembut untuk menyambut penonton yang masuk. Suasana Nusantara terdengar di negeri asing. Secara tidak langsung inilah salah bentuk promosi Indonesia yang kami kemas dalam  pertunjukan Wayang Ajen.  Ternyata mereka sangat menikmati ilustrasi musik yang kami perdengarkan. Bahkan ada bebera orang penonton langsung menghampiri tim kesenian sambil berkata “Bali” mereka teringat Bali ketika mendengar musik tersebut.

          Pertunjukan kami mampu memukau penonton yang memenuhi gedung teater. Warga Tenerife umumnya adalah apresiator yang sangat baik dan memiliki cita rasa tinggi. Lakon percintaan Batara Rama dan Sinta dapat dipahami, mereka bisa larut dalam suasana yang kami bangun.  Setengah dari penonton adalah anak-anak, dan mereka tertawa melihat aksi panakawan Semar, Cepot, Dawala dan Gareng. Bahkan Wawan Gunawan dalam adegan goro –goro ini nyaris seluruhnya menggunakan bahasa spanyol untuk membangun dialog dengan penonton. Misi dan promosi budaya Indonesiapun pun diselipkan agar penonton tahu bahwa Indonesia sangat kaya dengan budayanya. Wayang Ajen hanya setitik kecil dari keragaman kesenian yang ada di Indonesia.

          “Ustedes konosen nuestro pais Indonesia ? rekomondamos ke bayan para ber lo bonito ke es. Su kultura, las playas, la komida, la artesania I mucho mas.” Kata Si Cepot . isi kalimat tersebut mengajak penonton untuk datang melihat sendiri keindahan dan keragaman budaya. Serentak penonton menjawab “si” yang berarti “ya” demikian pula saat si Cepot, muncul sembari meneriakan kata “bamos, esas, palmas, gritos, waaaa…!” serentak semuanya bertepuk-tepuk mengikuti irama riang lagu gundul-gundul pacul yang dinyanyikan oleh Dodong Kodir dengan iringan alat musik gitar ciptaannya yang diberi nama Alpedo (Alat Petik Dodong).


          Selesai pagelaran, penonton, terutama anak-anak langsung menyerbu panggung. Mereka penasaran ingin melihat seluruh  peralatan pentas Wayang Ajen. Wawan Gunawan sibuk mensimulasikan gerak wayang, Dodong mendemontrasikan berbagai alat music sampah yang dibuatnya, dan M.Tavip pun memperagakan bagaimana Gambar Motekar dimainkan.

          Sedangkan saya, sibuk mondar mandir mendokumentasikan moment penting ini sembari mengamankan laptop. Betapa antusiasnya penonton ingin mengetahui segala sesuatu yang kami tampilkan.  Sampai-sampai kostum Baduy yang kami pakai mereka tanyakan.  sekilas, saya menjelaskan tentang batik dan berbagai kostum Nusantara. termasuk pakaian Baduy  dan batik Megamendung Cirebonan yang selalu kami pakai sehari-hari.

          Monica Vaquero dan managemen gedung kesenian menyatakan kepuasaannya. Menurutnya penonton sangat terkesan. Selain dari unsur cerita, heureuy sunda ala wayang golek sangat disukai anak-anak dan orang dewasa. Monica dan rekannya yang hanya mengenal Bali (karena wisatanya) dan Aceh (saat  terjadi bencana Tsunami) akhirnya mengenal Sunda dan suku-suku lainnya. kami banyak menceritakan tentang Indonesia, baik letak geografisnya, penduduknya, terutama seni budayanya. Lagi-lagi bahasa tubuh kami mendominasi percakapan. Dan Usai pertunjukan kami diwawancarai oleh stasiun TV Teidevision canal 6. (sambung)




Komentar

Postingan Populer