KISAH WAYANG AJEN DI SPAIN (bag. 3)
Catatan Pandu Radea dari Festival International de Titeres de Canarias
TAK ADA ROTAN DAUN PUN JADI !
Masalah yang membenam dalam benak adalah bahwa kami tidak akan bisa pentas jika peralatan kami tidak segera ditemukan. Sejak bangun tidur Wawan Ajen terus melakukan kontak ke berbagai pihak. Parahnya lagi, selama di hotel, kami tidak di sertai oleh guide yang disediakan panitia, tentu saja kondisi tersebut membuat kami sakaparan-paran. Kendati fasilitas hotel sangat berkelas, ditambah akomodasi maupun konsumsi ditanggung panitia, tetap saja membuat kami kebingungan. Pasalnya, diantara kami berempat, hanya saya yang memiliki mata uang Euro. Itupun hanya 60 euro.
Sembari menunggu infomasi, akhirnya kami membuat rencana darurat. Jangan sampai kami gagal manggung. Selain membuat kecewa panitia juga untuk tetap menjaga nama baik Indonesia. Berawal dari keisengan saya yang selalu tertarik dengan daun kering. Akhirnya saya kumpulkan beberapa helai daun untuk membuat alat music sederhana, akhirnya, Wawan Ajen melihat beberapa jenis daun dapat dibuat wayang. Dan timbul ide membuat wayang dari daun kering.
Wawan Ajen yang memiliki keterampilan membuat wayang dari ilalang segera bereksperimen membuat tokoh Rahwana dan hanoman. Sedangkan saya membuat Rama dan Sinta. Tavif membuat Jatayu dan Dodong Kodir sibuk kesana kemari mencari sampah untuk didaur ulang menjadi Alat music. Yang sukses bereksperiman hanya bertiga. Sementara Dodong Kodir terpaksa menghentikan upayanya. Bukannya tidak mampu, justru kelebihan seniman tua ini adalah mengolah sampah apapun menjadi alat music. Dodong terpaksa menyerah karena di sekitar hotel bahkan sampai pinggir jalan raya, tidak ada sampah yang ditemukan.
Inilah kontradiktif kedua antara Tenarife dan kota-kota wisata di Indonesia. Yaitu tentang Sampah. Di Tenarife tidak ada sampah yang berserakan. Sedangkan di Indonesia, sampah sangat merajalela. Entah dimana para petugas sampah di Tenarife itu menimbun limbah manusia. Jika saja Dodong Kodir bisa berbahasa spanyol tentu masalah itu bisa selesai dengan bertanya kepada petugas hotel. Sayangnya bahasa Inggris petugas hotel umumnya jelek (apalagi kami) sehingga dialogpun sering salah tafsir. Hasilnya tentu saja miss understanding.
untungnya, Dodong segera mengalihkan sampah dengan sampah pohon. Beberapa alat music dapat diciptakan. Kendatii sederhana, namun untuk sementara dianggap dapat mewakili ketukan wayang. Semua kegiatan kami, dilakukan di jembatan kecil yang menghubungkan setiap ruangan dan bangunan hotel. otomatis, gerak-gerik kami menjdi perhatian tamu-tamu lainnya. Apalagi kami selalu menyapa tamu yang lewat dengan kata “Ola” yang membuat mereka tersenyum dengan keramahan kami, dan akhirnya memperhatikan kegiatan kami.

Komentar
Posting Komentar