KISAH WAYANG AJEN DI SPAIN (bag. 4)


Catatan Pandu Radea  dari Festival International de Titeres de Canarias

SYMPONI PAGI YANG INDAH

 

Pukul 21.00 waktu spanyol, matahari baru tenggelam.  Kelelahan bereksperimen dengan wayang daun membuat tidur menjadi lelap.  Fransisco Brito, direktur teater di Yunani yang menjadi promotor  kami selama di Spanyol belum datang. The show must go on. Toh konsep pertunjukan Wayang Daun sudah kami siapkan.  Saya dan Tavip akan berakting sebagai Rahwana dan Rama. Sementara Wawan Ajen akan memainkan wayang daun dan Dodong mengeksplorasi bunyi. Ya, tidak jauh dengan konsep jeprut jaya (istilah Iman Soleh) alias perpomance art.

Rasa pe-de memang harus dipupuk dalam kondisi seperti ini, jika tidak maka rasa  frustasi akan terus berkepanjangan. Setidaknya, kami berharap Wayang Daun akan mendapat apresiasi dari penonton, seperti  pertunjukan boneka dari beberapa kelompok lain diantaranya  Spanyol (Teatrapa Plus S.L, Maquina Real, Garabatos-K, Teatro Dos Mundos dan La Canija), Yunani (Ayusaya Puppet Theatre), Bulgaria (Teatro Atelier 313), dan Polonia (Wiczy Theatre).

Bahkan Teatro Dos Mundos dalam pertunjukannya mengeksplorasi berbagai plastictik termasuk kantong keresek.  Rencana tersebut belum kami kompirmasikan ke Director Festival, Mr. Domingo Bordes. Setidaknya, kami masih mempunyai waktu beberapa jam lagi untuk berharap boks alat pertunjukan sudah ada di depan pintu kamar kami, ya minimalnya, ada informasi tentang keberadaanya.

Tanggal 26 april. Pagi yang dingin. Landskap pulau Canarias berwarna jingga diselimuti cahaya sunrise. Inilah taman firdaus bagi berbagai jenis burung. Sekeliling hotel yang rimbun oleh berbagai jenis tumbuhan seperti palm dan tanaman keras lainnya menjadi tempat  orchestra  bagi jenis burung seperti tekukur, jalak hitam, kenari, puter, merpati, ketilang, anis, wambi dll,  untuk ramai   bersimponi. Ternyata Burung Kenari yang dikenal di Indonesia merupakan burung asli Pulau Canarias. 
 
Sebuah ketukan di pagi hari membawa berkah kegembiraan. Wonderful ! Mr Fransisco Brito sudah berdiri di depan pintu. Pria itu seperti muncul dari nadir langit. Senyumnya mengembang bagai bunga musim semi. Olala, Fransisco Brito ! 2 hari kami menantimu bagai pengantin baru menunggu malam pertama. Pria Yunani berwajah tirus itu tersenyum lebar menatap kami dengan kerinduannya. Dan berikutnya kamar hotel Sol Parague San Antonio bernomor 326 dipenuhi gelak tawa, Wawan Ajen, Tavip Lampung dan Dodong Kodir bertingkah seperti anak kecil yang bertemu bapaknya setelah 100 tahun berpisah. Ceracau dan bodi language-nya mengalahkan suara dan tingkah burung tekukur yang lagi kasmaran.

Sembari tersenyum tangan Fransisco menunjukan 5 buah box yang berjajar rapih. Tak ayal kami berpelukan dengan pria yunani yang kami kenal baik di Festival Puppet And Mime di Cyprus tahun 2008.  Pria jangkung yang humoris itu menceritakan bahwa saat dirinya tiba di Airport Reina Sofia Tenerife, dirinya melihat boks  berbendera Indeonesia dan bertuliskan Wayang Ajen tengah dibawa oleh seorang petugas bandara. tak ayal dirinya langsung berinisiatif membawa boks tersebut ke hotel kami.

            Inilah kontradiktif yang ke 3. Ternyata nilai-nilai toleransi masih tinggi dianut oleh warga eropa. Hal itu bisa terlihat dari perikehidupan masyarakat Tenerife. Pengemudi kendaraan sangat menghargai pejalan kaki, budaya antri yang tinggi,  ketaatan berlalulintas, bersih dari sampah, keramahan penduduknya, dan jauh dari  pengrusakan lingkungan membuat suasana di Tenerif menjadi kota yang tertib dan teratur. Sepanjang yang saya lihat, tidak ada vandalisme. Tembok-tembok jalan tapak bersih, tidak ada coretan usil. 
 
           Dan satu hal lagi, di Tenarif nyaris tidak ada lampu merah maupun polisi lalu lintas. lampu merah di setiap persimpangan diganti dengan bundaran jalan, istilah spanyolnya adalah rotunda. Pembangunan Infra Strukturnya betul-betul matang dan terencana. Pohon-pohon tua dan bangunan-bangunan lama sangat dilindungi sebagai salah satu asset wisata. Sementara di Indonesia ?

Komentar

Postingan Populer